persimpangan di depan sektor.


Aku masih mengenali setapak jalan ini, bukan jalan di desa ataupun di kota. Namun aku selalu menemukan kesejukan dan kenyamanan disini sekalipun aku sendiri. Aku terus menyusuri, seakan-akan tiap langkahku menanyangkan cuplikan-cuplikan gerak yang pernah terjadi disini. Setapak demi setapak aku melangkah, perlahan juga lambat bahkan mungkin siput yang bertengger pada lumut di sebelahku sudah mendahului langkahku. Aku sengaja memperlambat langkahku karena aku ingin mengulang kembali kenangan yang dulu pernah ku lalui disini. Aku menikmati setiap langkah yang ku ayunkan, tak tergesa-gesa karena aku tak sedang gelisah, tak terburu-buru karena kini aku bersahabat dengan waktu.

Tapi kini waktu tak pernah bersahabat denganku dulu, ia selalu saja merenggut suka citaku, gelak tawaku, dan juga kebersamaanku. Kebersamaanku dengannya yang kini telah berpesiar di negeri antah brantah atau mungkin sedang berselancar di Skotlandia, atau ia sudah berpindah ke planet tanpa nama, Entahlah. Aku tak pernah lagi mendengar namanya disebut disekitar sini, aku tak lagi menemukan sosoknya dimana-mana, aku telah kehilangan jejak. Kiri kanan jalan setapak ini pun tak menandakan bahwa ia masih ada, aku mencarinya di balik pohon palem yang setinggi atap rumah itu, aku mencarinya di semak-semak tak berbunga di sebelah kananku, aku menoleh ke belakang juga tak ada siluet dirinya. Namun aku dapat merasakan kenangan yang masih sangat kental disini. Rupanya kini aku tak lagi menikmati tiap slide kenangannya namun aku juga berusaha menjadi detektif hanya untuk mencari bayanganmu.

Aku masih saja menelusuri jalan setapak ini, kali ini langkahku terasa cukup cepat. Aku bisa menyusul si siput lamban yang tadi berhasil menyalipku. Napasku terengah, seakan ada sesuatu yang mengejarku. Entah apa itu, aku tak merasakan apa-apa lagi namun rasanya aku ingin cepat-cepat berlari. Tanpa basa-basi aku jejakkan tapak-tapak lariku, tak terlalu kencang namun aku ingin cepat sampai. Aku tersengal, mungkin waktu tak memburuku namun rasanya aku yang sedang berburu sesuatu. Ku teruskan berlari menembus dingin, berharap nanti jika aku berhenti akan ada yang kutemui. Tak ku pedulikan lagi kanan kiri bunga yang mekar namun hanya terlihat temaram di bawah lampu taman. Terus saja ku kayuh langkah, hingga peluh mulai sedikit kentara. Hingga sampailah aku disini, masih dengan napas yang kembang kempis, namun malam menyembunyikan pelipisku yang mulai menangis. Melodi-melodi jangkrik seakan memekikkan kisah lalu. Ya disini, kita selalu bertemu namun berpisah lagi, di jembatan taman ini. Sempit, namun kita selalu menyebutnya jembatan dari surga karena dari sini kita dapat melihat rona-rona bungan mekar dan air terjun dari seberang.

Oh tidak, aku ralat. Bukan jembatan yang memisahkan kita, persimpangan di depannya yang selalu memaksakan langkah kita untuk tidak sama. Aku ke kiri dan kau selalu saja ke kanan, pernah aku ingin mengajakmu menapaki jalan di samping kiri yang juga jalanku, aku beralasan kau dapat menemukan jalan baru dan menembus jalanmu sendiri lewat simpang sebelah kiri sini. Namun dengan tegas kau menolaknya, bahkan ketika kau ingin mengunjungiku kau tetap akan selalu persimpangan kanan walaupun jalannya lebih jauh. Pernah waktu itu ku tanyakan padamu, disaat aku sudah benar-benar kesal padamu. Mengapa kau seakan-akan mengutuk persimpangan kiri yang menjadi jalanku menuju rumah? Seakan-akan jalanku adalah jalan yang paling salah, seakan-akan kata “kiri” salalu lebih buruk dariapada kata “kanan”. Seperti “kanan” adalah kata yang lebih mulia dari kata “kiri”.

Aku ngomel-ngomel setelah kau tak juga dapat dibujuk untuk memilih simpang kiri untuk mengunjungi rumahku dengan berjalan bersama. Kau tetap bersikeras melewati simpang kananmu dan bertemu di rumahku nanti. Aku heran, apa yang sebenarnya salah dengan jalan yang ku lalui? Akhirnya aku yang mengalah, harus berjalan bersamamu di simpang kanan setelah melewati jembatan dengan jarak tempuh yang lebih jauh. Aku pernah membandingkan lajur jalan di sisi kanan yang selalu kau lewati menuju rumahmu dan lajur kiri yang sering aku lewati untuk menuju rumahku. Aku pikir sama saja, bahkan lebih mulus jalan di sisi kiri yang sering aku lewati dan lebih banyak bunga di sekitarnya, bahkan aku masih bisa mendengar gemericik air terjun jika aku melewati jalanku ini. Karena air terjun berada lebih dekat di jalan sebelah kiri. Apa yang salah sebenarnya? Namun pada akhirnya aku tak pernah memikirkannya lagi.

Bertahun-tahun kita bersama dan selalu tepisah di jembatan persimpangan ini jika kita pulang sekolah namun kita selalu menghabiskan waktu bersama sebelum kita terpisah di depan persimpangan setelah jembatan. Ini adalah idemu, kau selalu berkata “Sebelum kita berpisah” diawal kalimatmu. Aku pernah protes padamu, mengapa kau selalu memakai kata-kata itu sebelum kita kembali ke rumah masing-masing. Seakan-akan kita tak akan bertemu lagi dan benar-benar berpisah selamanya, padahal nanti malam pun kita pasti bertemu lagi menikmati bintang-bintang di jembatan ini. Namun kau selalu saja tersenyum ketika aku memrotes kata-katamu itu dan segera membelai poniku yang mulai berantakan. Kemudian kau menyelimurkannya dengan sebungkus cokelat, sekotak ice cream, atau tiket nonton bioskop. Entahlah, kau selalu saja menyogokku dengan hal-hal yang aku sukai. Kau selalu tau aku akan mudah lupa dengan semua hal-hal yang membuatku senang.

Hingga saat kelulusan tiba, di waktu inilah kau mengajakku di jembatan ini lagi yang sebenarnya memang selalu kita lewati. Kau tak membujukku untuk tidak mengikuti malam kelulusan, karena kau sudah memiliki keasyikan malam kelulusan sendiri di jembatan ini. Namun aku menolaknya, aku sudah mempersiapkan diri untuk acara malam kelulusan ini jauh-jauh hari. Aku sudah memesan gaun teranggun yang pernah ku beli, aku juga sudah berkolaborasi dengan band terkenal di sekolah untuk bernyayi. Mengapa aku harus mengikutimu hanya untuk berdua saja di jembatan yang biasa juga kita lewati. Tapi ketika aku segera melangkahkan kaki menuju acara malam sekolah kau berkata padaku “Aku akan menunggumu disini sampai kau kembali disini.” Aku tak peduli, aku melangkahkan kaki dengan hati dongkol. Padahal aku ingin sekali dia menyaksikanku bernyanyi di atas panggung yang cukup megah, padahal lagu yang ku ciptakan itu ku nyanyikan juga khusus untuknya. Namun mengapa begini, mengapa ia tak mengerti juga bahwa rasaku tak pernah mati saat aku mencoba memungkiri.

Malam itu pukul dua belas tepat, saatnya sang Cinderella kembali menjadi upik abu. Aku bertemu denganmu di jembatan itu. Seperti katamu tadi bahwa kau menungguku. Namun aku tak berselera lagi menatap wajahmu, bahkan bayangmu saja aku malas menerkanya. Aku menekuk muka disaat kau tiba-tiba berkata “Aku akan mengantarmu ke rumah.” Aku menjawabnya dengan emosi “Aku nggak mau! Aku nggak mau lewat jalan yang lebih jauh, lewat jalan kananmu itu. Lebih baik aku berjalan sendiri di jalan kiriku.” Kataku hampir menangis. Rasanya sudah lelah menuruti kegigihannya untuk tak melewati simpang kiri itu. Namun tiba-tiba kau menggandeng tanganku sembari sedikit langkah kaki dan berkata “Aku akan melewati persimpangan kirimu kali ini, aku hanya akan melewatinya dua kali. Kau akan selalu menemukan namaku suatu saat nanti di simpang kiri ini. Sekarang ku antar kau sampai ke rumah.” Aku diam saja walau masih banyak tanya yang berkecamuk dalam benakku.

Aku tak pernah mengerti kata-katamu namun saat inilah akhirnya aku mengetahui bahkan memahami. Apa arti kata-katamu itu dan kata-kata terakhirmu itulah yang membuatku tak pernah dapat membendung linangan air mataku. Kau benar, kini aku selalu menemukanmu di simpang kiriku. Bukan menemukanmu namun hanya namamu yang terukir di nisan batu. Apa ini ? Setelah kita berpisah dan tak bertemu lagi beberapa tahun ini. Kini aku menemukanmu di persimpangan kiri tanpa melihat sosokmu. Oh jembatan persimpangan yang tak pernah terhalang namun telah memisahkan kita untuk selamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Badai Pasti Berlalu

Kepolosan kita dijadikan alasan ada apa ???...

Kesabaran Yang Tiada Batas Nya